manusia kebudayaan






MANUSIA KEBUDAYAAN

MANUSIA SEBAGAI MAHKLUK BERPIKIR
A.     HAKIKAT PRIBADI MANUSIA
Manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom, berdiri pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonik  jiwa-raga dan eksis terhadap individu yang memasyarakat.
1.      Sebagai mMakhluk Tuhan Yang Otonom
Manusia lahir dalam keadaan serba misterius. Artinya, sangat sulit di ketahui  mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahirannya itu. Yang pasti diketahuinya adalah bahwa manusia dilahirkan sebutlah TUHAN melalui manusia lain (orang tua), sadar akan hidup dan kehidupannya, dansadarpula akan tujuan hidupnya (kembali kepada Tuhan).
Kehadirannya di dunia ini bagaikan membaca sebuah buku yang tanpa pendahuluan dan penutup/kesimpulan. Ia hanya menghadapi (membaca) isinya saja, dan terus menyusun sendiri pendahuluan dan penutupnya itu berdasrkan fakta yang tersirat di dalam lembaran – lembaran isinya.
Jika demikian halnya, maka setiap orang cenderung berbeda pandangannya tentang idea tau konsep pendahuluan buku yang menggambarkantujuan akhir tentang hidupnya. Hal ini di karenakan setiap orang atua individu tidak sama kemampuan imajinasinya terhadap lembaran-lembaran isi buku yang menggambarkan seluruh fakta atau kenyataan hidup ini. Oleh sebab itu, perbedaan pengetahuaan tentang asal mula dan tujuan hidup, serta sikap dan cara hidup orang tidak perlu di besar-besarkan. Bahkan, justru perbedaan-perbedaan itu perlu di pandang sebagai sumber kekayaan pengetahuaan tentang misteri hidup dan kehidupan manusia.
Kenyataan yang demikian itu memberikan kejelasan bahwa sesungguhnya manusia itu adlah makhluk yang  lemah, keberadaannya sangat tergantung kepada sang penciptannya (Tuhan). Segala potensi dirinya di tentukan secara mutlak oleh Tuhan. Manusia tidak bias berbuat apa-apa terhadap sang pencipta kecuali pasrah-menyerah.
Akan tetapi ketergantungannya kepada sang pencipta itu bhkanlah semata-mata, melainkan ketergantungan (dependence) yang ber-keleluasaan (indepedence). Manusia menerima ketergantunganitu dengan otonomi dan indepedensinya serta kreativitas sedemikian rupa sehingga ia mampu mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya.
Denagn otonomi dan kreativitasnya segala ‘ do’a dan puji’ kepada snag maha pencipta di wujudkan dalam bentuk-bentuk usaha mengatasi macam problem hidup. Manusia mencari dan mencipta makanan, minuman, tempat berteduh, kehangatan, keamanan, ketentraman dan sebagainya. Manusia tidak mau dan tidak mungkin menerima begitu sajaapa yang  telah diberikan oleh alam. Segala potensi alam itu oleh manusia perlu diolah agar lebih bisa memberikan pemenuhan kebutuhan yang sesuai.
Manusia seolah berdiri sendiri, bebas lepas dari sang pencipta. Doa dan segala puji kepada sang pencipta semakin menjadi bentuk-bentuk formal belaka, yang semakin jauh relevansinya dengan kehidupan sehari-hari. Ia semakin lupa diri, lupa akan asal mulanya. Sang encipta hanya ada di kesadarannya belaka banyak tingkah laku dan perbuatannya tidak sesuai dengan arti sang pencipta dan penciptaannya. Nilai-nilai religious berubah menjadi sekedar berderajat ”manusiawi”, yaitu yang memberikan makna kepada manusia dan kehidupannya 9kehidupan duniawi).
Antara ketergantungan(depedensi) dan otonomi (indenpedensi) adalah dua unsur potensi kontradiktif yang ada di dalam kesatuan dinamis. Keberadaannya yang demikian ini, justru memberikan makna yang jelas  kepada diri manusia sebagai makhluk sang pencipta. Analogikanlah dengan sebuah rumah batu yang kuat. Kekuatannya itu adalah warisan kodrat dari batu sebagai benda yang memang kuat.
2.      Sebagai Makhluk Yang Berjiwa-Raga
Unsur jiwa raga manusia itu bukan hal yang berdiri sendiri. Keduanya beada di dalam satu struk-
tur yang menyatu menjadi “diri pribadi”, sehingga diri pribadi manusia adalah “jiwa yang meraga” dan “raga yang menjiwa”.
Ø  Jiwa Yang Meraga. Jiwa yang menjadi satu dnegan raganya, yaitu jiwa yang maujud dalam bentuk raga. Jiwa adlah sesuatu yang maujud, tidak berbentuk dan tidak berbobot.
Didalam jiw, ada unsur-unsur yang sering kita kenal sebagai “tri-potensial kejiwaan”, yaitu cipta, rasa dan karsa. Cipta adlah akal budi yang memilki potensi yang luar biasa. Denag akal kebenaran dan keadilan bisa di capai. Dengan akal semua bisa di akali, sehingga orang bisa berpura. Misalnya dalam keadaan tertentu seseorang bisa mengatakan kenyang padahal sebenarnya diasedang lapar.Karena itu orang sering tertipu jika tidak atau kurang sungguh-sungguh dalam melakukan pengsangatan. Bagaimananpunjuga,kenyataan keadaan jiwa secara natural pasti tercermin dalam tingkah laku badan. Disebut apapun “emas tetaplah “emas”.
Ø  Raga Yang Menjiwa. Raga yang menjadi satu dengan jiwa adalahsuatu kencenderungan fenomena badan yang menjdai bersifat. Raga adlahsesuatu yang maujud, berbentuk dan berbobot(berukuran). Didalam raga kita ada dorongan-dorongan,kecenderungan-kecenderunagan dam tujuan. Jika kita melangkahkan kaki secara searah dan konsisten setiap sat ke kampus,ada dorongan kejiwaan  untuk menjadi seorang Ilmuwan.
3.      Sebagai Makhluk Individu Yang memasyarakat
     Sepertiantara hubungan “jiwa dan raga”, Manusia adalah makhluk individu yang memasyara-kat dan sekaligus makhluk social yang meng-individu.
Ø  Individu yang Memasyarakat. Didalam dirisetiap orang memiliki keasdaran. Yaitu, sadar akan dirinya sebagai pribadi yang individu ciptaan sang pencipta, karena itu ia lemah, dan kelahirannya bergantung sepenuhnya kepada yang lain(orang tuanya) sampai ada taraf tertentu. Dan ia sadar terhadap dirinya yang memiliki potensi untuk hidup di atas otonomi dan kebebasannya.
Ø  Asyarakat yang meng-individu. Klaimat ini mangandung arti bahwa masyarakat menciptakan individu-individunya dalam berbagai hal seperti sifat, mentalitas, karakteristrik, dan sikap pribadi. Oleh sebab itu, masyarakat adalah taraf perkembangan individu  dalam menyelenggarakan hidup dan mengembanggkannya.
B.     Hidup Dan Kehidupan Manusia
     Unsur-unsur hakikat pribadi manusia, sebagai makhluk Tuhan, ssebagai makhluk bebas yang otonom, makhluk yang berjiwa dan berbadan, makhluk individu dan  makhluk social, bukan sekedar unsur-unsur mati melainkan potensi-potensi yang bergerak secara dinamis kearah satu tujuan yang sama dalam perbedaan segala kepentingan.
C.     Manusia Sebagai Makhluk Yang Berpikir
 Manusia berbeda dengan makhluklain, manusia deberikan kelebihan oleh Sang Pencipta berupa “Akal/pikiran” yaitu kemampuan berpikr yang berada dalam satu structural dengan perasaan dan kehendaknya (berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas kepda manusia sebagai “animal rationale”.
Manusia selalu berusaha meningkatkan kualitas berpikirnya untuk memecahkan segala problematika dalam hidup dan memanfaatkan sumber daya alam sebagai bahan tumpuan dan pemenuhan kebutuhan dalam hidupnya.
      A. Pendahuluan
Diakui secara umum bahwa kebudayaan merupakan unsur penting dalam proses pembangunan atau keberlanjutan suatu bangsa. Lebih-lebih jika bangsa itu sedang membentuk watak dan kepribadiannya yang lebih serasi dengan tantangan zamannya. Dilihat dari segi kebudayaan, pembangunan tidak lain adalah usaha sadar untuk menciptakan kondisi hidup manusia yang lebih baik. Mencip­takan lingkungan hidup yang lebih serasi. Menciptakan kemudahan atau fasilitas agar kehidupan itu lebih nikmat. Pembangunan adalah suatu intervensi manusia terhadap alam lingkungannya, baik lingkungan alam fisik, maupun lingkungan sosial budaya.
Pembangunan membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Serentak dengan laju perkembangan dunia, terjadi pula dinamika masyarakat. Terjadi perubahan sikap terhadap nilai-nilai budaya yang sudah ada. Terjadilah pergeseran sistem nilai budaya yang membawa perubahan pula dalam hubungan interaksi manusia di dalam masyarakatnya.
     Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masya­rakat adil dan makmur yang merata, materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Bahwa hakekat pembangunan Nasional adalah pembangunam manusia Indonesia seutuhnya dan pcmbangunan seluruh masyarakat Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah tentu pendekatan dan strategi pembangunan hendaknya menempatkan manusia scbagai pusat intcraksi kcgiatan pcmbangunan spiritual maupun material. Pembangunan yang melihat manusia sebagai makhluk budaya, dan sebagai sumber daya dalam pembangunan. Hal itu berarti bahwa pembangunan seharusnya mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa. Menumbuhkan sikap hidup yang seimbang dan berkepribadian utuh. Memiliki moralitas serta integritas sosial yang tinggi. Manusia yang taqwa kepada Tuhan Yang Mahasa Esa.
      Dewasa ini kita dihadapkan paling tidak kepada tiga masalah yang saling berkaitan, yaitu
1). Suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa, dengan latar belakang sosio budaya yang beraneka ragam. Kemajemukan tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu diperlukan sikap yang mampu mengatasi ikata-ikatan primor­dial, yaitu kesukuan dan kedaerahan.
2). Pembangunan telah membawa perubahan dalam masyarakat. Perubahan itu nampak terjadinya pergeseran sistem nilai budaya, penyikapan yang berubah pada anggota masyarakat tcrhadap nilai-nilai budaya. Pembangunan telah menimbulkan mobilitas sosial, yang diikuti oleh hubungan antar aksi yang bergeser dalam kelompok-kclompok masyarakat. Sementara itu terjadi pula penyesuaian dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dapat dipahami apabila pergeseran nilai-nilai itu membawa akibat jauh dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
3). Kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi massa dan transportasi, yang membawa pengaruh terhadap intensitas kontak budaya antar suku maupun dengan kebudayaan dari luar. Khusus dengan terjadinya kontak budaya dengan kebudayaan asing itu bukan hanya itensitasnya menjadi lebih besar, tetapi juga penyebarannya bcrlangsung dengan cepat dan luas jangkauannya. Terjadilah perubahan orientasi budaya yang kadang-kadang menimbulkan dampak terhadap tata nilai masyarakat, yang sedang menumbuhkan identitasnya sendiri sebagai bangsa.
Untuk itulah, kepada lulusan Perguruan Tinggi perlu di bekali pengetahuan yang dapat mengembangkan kepribadiannya dan agar memiliki sikap hidup yang halus dan terbuka.
    B. Pengertian Kebudayaan
      Secara etimologis kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “budhayah”, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan ahli antropologi yang memberikan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah E.B. Tylor dalam buku yang berjudul “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Pada sisi yang agak berbeda,
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkanya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupanan masyarakat.
Secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut:
1.Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia, yang meliputi:
b.kebudayaan materiil (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, misalnya kendaraan, alat rumah tangga, dan lain-lain.
c.Kebudayaan non-materiil (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya agama, bahasa, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
2.Kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.
3.Kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat kemungkinannya sangat kecil untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya, tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia (secara individual maupun kelompok) dapat mempertahankan kehidupannya. Jadi, kebudayaan adalah hampir semua tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
C. Unsur-Unsur Kebudayaan
Unsur-unsur kebudayaan meliputi semua kebudayaan yang ada dunia, baik yang kecil, sedang, besar, maupun yang kompleks. Menurut konsepnya Malinowski, kebudayaan di dunia ini mempunyai tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian .Seluruh unsur itu saling terkait antara yang satu dengan yang lain dan tidak bisa dipisahkan.
D. Sistem Budaya dan Sistem Sosial
Sistem sosial dan sistem budaya merupakan bagian dari kerangka budaya. Ketiga sistem tersebut secara analisis dapat dibedakan. Sistem sosial lebih banyak dibahas oleh ilmu sosiologi, sementara itu sistem budaya banyak dikaji dalam ilmu budaya.Sistem diartikan sebagai kumpulan bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Sistem mempunyai sepuluh ciri, yaitu:
1.fungsi,
2.satuan,
3.batasan,
4.bentuk,
5.lingkungan,
6.hubungan,
7.proses,
8. masukan,
9.keluaran, dan
10.pertukaran.
Sistem budaya merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya a tau kultural sistem merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam keadaan berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dan menjadi suatu sistem. Dengan demikian, sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula adat-istiadat. Adat-istiadat mencakup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui proses pembudayaan atau institutionalization (pelembagaan). Dalam proses ini, individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, mula-mula meniru berbagai macam ilmu n. Setelah itu menjadi pola yang mantap, dan mengatur apa yang dimilikinya.
Sedangkan, sistem sosial pertama kali diperkenalkan oleh Talcott Parsons. Konsep struktur sosial digunakan untuk menganalisis aktivitas sosial sehingga sistem sosial menjadi model analisis terhadap organisasi sosial.
Konsep sistem sosial adalah alat bantu untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok manusia. Model ini bertitik tolak dari pandangan bahwa kelompok manusia merupakan suatu sistem.
Parsons menyusun strategi untuk menganalisis fungsional yang meliputi semua sistem sosial, termasuk hubungan berdua, kelompok kecil, keluarga, organisasi sosial, termasuk masyarakat secara keseluruhan. terdapat empat unsur dalam sistem sosial, yaitu:
  1. dua orang atau lebih,
  2. terjadi interaksi di antara mereka,
  3. interaksi yang dilakukan selalu bertujuan, dan
  4. memiliki struktur, simbol, dan harapan-harapan bersama yang dipedomaninya.
Lebih lanjut, suatu sistem sosial akan dapat berfungsi apabila empat persyaratan di bawah ini terpenuhi. Keempat persyaratan itu meliputi:
1.Adaptasi, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya.
2.Mencapai tujuan, merupakan persyaratan fungsional bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya.
3.Integrasi, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam sistem sosial.
4.Pemeliharaan pola-pola tersembunyi, merupakan konsep latent (tersembunyi) pada titik berhentinya suatu interaksi akibat kejenuhan sehingga tunduk pada sistem sosial lainnya yang mungkin terlibat.
Lebih lanjut, Parson menjelaskan bahwa dalam suatu sistem sosial terdapat 10 unsur yang membentuk kesempurnaan suatu” sistem. Kesepuluh unsur itu, yaitu:
(1) keyakinan,
(2) perasaan,
(3) tujuan sasaran cita-cita,
(4) norma,
(5) kedudukan peranan,
(6) tingkatan,
(7) kekuasaan atau pengaruh,
(8) sanksi,
(9) sarana atau fasilitas, dan
(10) tekanan ketegangan.
E.Makna Sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, dan orang lain menafsirkan makna-makna obyek-obyek di alam kesadarannya dan memutuskannya bagaimana ia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu. Bahkan seseorang melakukan sesuatu karena peran sosialnya atau karena kelas sosialnya atau karena sejarah hidupnya. Tingkah laku manusia memiliki aspek-aspek pokok penting sebagai berikut :
(1)Manusia selalu bertindak sesuai dengan makna barang-barang (semua yang ditemui dan dialami, semua unsur kehidupan di dunia ini);
(2)Makna dari suatu barang itu selalu timbul dari hasil interaksi di antara orang seorang;
(3)Manusia selalu menafsirkan makna barang-barang tersebut sebelum dia bisa bertindak sesuai dengan makna barang-barang tersebut. Atas dasar aspek-aspek pokok tersebut di atas, interaksi manusia bukan hasil sebab-sebab dari luar. Hubungan interaksi manusia memberikan bentuk pada tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul saling mempengaruhi. Mempertimbangkan tindakan orang lain perlu sekali, bila mau membentuk tindakan sendiri.
Menurut Blumer dalam premisnya menyebutkan bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain dan disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung.
Makna dari sesuatu berasal  dari cara-cara orang atau aktor bertindak terhadap sesuatu dengan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan situasi di mana dia ditempatkan dan arah tindakannya.
F. Perubahan Sosial
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Perubahan itu bisa dalam arti sempit , luas, cepat atau lambat. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan proses terus-menerus untuk menuju masyarakat maju atau berkembang, pada perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan.
Menurut Moore dalam karya Lauer, perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan penting dalam struktur sosial . Yang dimaksud  struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Perubahan sosial mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, karena seluruh aspek kehidupan sosial itu terus menerus berubah, hanya tingkat perubahannya yang berbeda.
Himes dan More mengemukakan  tiga dimensi perubahan sosial :
(1)Dimensi structural dari perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam bentuk struktur masyarakat menyangkut perubahan peran, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial;
(2)Perubahan sosial dalam dimensi cultural mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam masyarakat seperti adanya penemuan dalam berpikir (ilmu pengetahuan), pembaharuan hasil teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan peminjaman kebudayaan;
(3)Perubahan sosial dalam dimensi interaksional mengacu kepada perubahan hubungan sosial dalam masyarakat yang berkenaan dengan perubahan dalam frekuensi, jarak sosial, saluran, aturan-aturan atau pola-pola dan bentuk hubungan.
G.  Konsep Nilai
Batasan nilai bisa mengacu pada berbagai hal seperti minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perasaan dari orientasi seleksinya (Pepper, dalam Sulaeman, 1998). Rumusan di atas apabila diperluas meliputi seluruh perkem-bangan dan kemungkinan unsur-unsur nilai, perilaku yang sempit diperoleh dari bidang keahlian tertentu, seperti dari satu disiplin kajian ilmu. Di bagian lain, Pepper mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk. Sementara itu, Perry (dalam Sulaeman, 1998) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek.
Ketiga rumusan nilai di atas, dapat diringkas menjadi segala sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.
Seseorang dalam melakukan sesuatu terlebih dahulu mempertimbangkan nilai. Dengan kata lain, mempertimbangkan untuk melakukan pilihan tentang nilai baik dan buruk adalah suatu keabsahan. Jika seseorang tidak melakukan pilihannya tentang nilai, maka orang lain atau kekuatan luar akan menetapkan pilihan nilai nnluk dirinya.
Seseorang dalam melakukan pertimbangan nilai bisa bersifat subyektif dan bisa juga bersifat objektif. Pertimbangan nilai subjektif tcnlapat dalam alam pikiran manusia dan bergantung pada orang yang memberi pertimbangan itu. Sedangkan pertimbangan objektif beranggapan bahwa nilai-nilai itu terdapat tingkatan-tingkatan sampai pada tingkat tertinggi, yaitu pada nilai fundamental yang mencerminkan universalitas kondisi fisik, psikologi sosial, menyangkut keperluan setiap manusia di mana saja.
Dalam kajian filsafat, terdapat prinsip-prinsip untuk pemilihan nilai, yaitu sebagai berikut.
1.nilai instrinsik harus mendapat prioritas pertama daripada nilai ekstrinsik. Sesuatu yang berharga instrinsik, yaitu yang baik dari dalam dirinya sendiri dan bukan karena menghasilkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang berharga secara ekstrinsik, yaitu sesuatu yang bernilai baik karena sesuatu hal dari luar. Jika sesuatu itu merupakan sarana untuk mendapat sesuatu yang lain. Semua benda yang bisa digunakan untuk aktivitas mem-punyai nilai ekstrinsik.
2.nilai ini tidak harus terpisah. Suatu benda dapat bernilai instrinsik dan ekstrinsik. Contoh pengetahuan, mempunyai nilai instrinsik baik dari dirinya sendiri dan mempunyai nilai ekstrinsik apabila digunakan untuk kepentingan pembangunan baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun bidang-bidang yang lainnya.
3.nilai yang produktif secara permanen didahulukan daripada nilai yang produktif kurang permanen. Beberapa nilai, seperti nilai ekonomi akan habis dalam aktivitas kehidupan. Sedangkan nilai persahabatan akan bertambah jika dipergunakan untuk membagi nilai akal dan jiwa bersama orang lain. Oleh karena itu, nilai persahabatan harus didahulukan daripada nilai ekonomi.
H. Sistem Nilai
Sistem nilai adalah nilai inti (core value) dari masyarakat. Nilai inti ini diakui dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia di dunia untuk berperilaku. Sistem nilai ini menunjukkan tata-tertib hubungan timbal balik yang ada di dalam masyarakat. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1981). Sistem nilai budaya ini telah melekat dengan kuatnya dalam jiwa setiap anggota masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu yang singkat. Sistem budaya ini menyangkut masalah-masalah pokok bagi kehidupan manusia.
Sistem nilai budaya ini berupa abstraksi yang tidak mungkin sama persis untuk setiap kelompok masyarakat. Mungkin saja nilai-nilai itu dapat berbeda atau bahkan bertentangan, hanya saja orien-tasi nilai budayanya akan bersifat universal, sebagaimana Kluckhohn (1950) sebutkan.
Menurut Kluckhohn, sistem nilai budaya dalam masyarakat di mana pun di dunia ini, secara universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia, yaitu:
4.Hakikat hidup manusia. Hakikat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstrim. Ada yang berusaha untuk memadamkam hidup (nirvana = meniup habis). Ada pula yang dengan pola-pola kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai sesuatu hal yang baik (mengisi hidup).
5.Hakikat karya manusia. Setiap manusia pada hakikatnya berbeda-beda, di antaranya ada yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.
6.Hakikat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda. Ada yang berpandangan mementingkan orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini atau yang akan datang.
7.Hakikat alam manusia. Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin, ada pula kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam.
8.Hakikat hubungan manusia. Dalam hal ini ada yang memen­tingkan hubungan manusia dengan manusia, baik secara horisontal maupun secara vertikal kepada tokoh-tokoh. Ada pula yang berpandangan individualist’s (menilai tinggi kekuatan sendiri).
Berdasarkan hasil suatu penelitian, ada tiga pandangan dasar tentang makna hidup, yaitu:
(1) hidup untuk bekerja,
(2) hidup untuk beramal, berbakti, dan
(3) hidup untuk bersenang-senang.
Sedangkan makna kerja, yaitu:
(1) untuk mencari nafkah,
(2) untuk memper-tahankan hidup,
(3) untuk kehormatan,
(4) untuk kepuasan dan kesenangan, dan
(5) untuk amal ibadah.
I. Perubahan Kebudayaan
Masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, ada dua sebab perubahan
1.Sebab yang berasal dari masyarakat dan lingkungannya  sendiri,misalnya perubahan jumlah dan komposisi
2.sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
3.adanya difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan inovasi.
Dalam masyarakat maju, perubahan kebudayaan biasanya terjadi melalui penemuan (discovery) dalam bentuk ciptaan baru (inovatiori) dan melalui proses difusi. Discovery merupakan jenis penemuan baru yang mengubah persepsi mengenai hakikat suatu gejala mengenai hubungan dua gejala atau lebih. Invention adalah suatu penciptaan bentuk baru yang berupa benda (pengetahuan) yang dilakukan melalui penciptaan dan didasarkan atas pengkom-binasian pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala yang dimaksud.
Ada empat bentuk peristiwa perubahan kebudayaan. Pertama, cultural lag, yaitu perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Dengan kata lain, cultural lag dapat diartikan sebagai bentuk ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat menyesuaikan diri terhadap benda tersebut.
Kedua, cultural survival, yaitu suatu konsep untuk meng-gambarkan suatu praktik yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup, dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, cultural survival adalah pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami peru­bahan sejak dahulu hingga sekarang.
Ketiga, pertentangan kebudayaan (cultural conflict), yaitu proses pertentangan antara budaya yang satu dengan budaya yang lain.
Konflik budaya terjadi akibat terjadinya perbedaan kepercayaan atau keyakinan antara anggota kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.
Keempat, guncangan kebudayaan (cultural shock), yaitu proses guncangan kebudayaan sebagai akibat terjadinya perpindahan secara tiba-tiba dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Ada empat tahap yang membentuk siklus cultural shock, yaitu: (1) tahap inkubasi, yaitu tahap pengenalan terhadap budaya baru, (2) tahap kritis, ditandai dengan suatu perasaan dendam; pada saat ini terjadi korban cultural shock, (3) tahap kesembuhan, yaitu proses melampaui tahap kedua, hidup dengan damai, dan (4) tahap penyesuaian diri; pada saat ini orang sudah membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakan dalam kondisi yang baru itu; sementara itu rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.


    
                 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONDITIONAL SENTENCES

KEPRIBADIAN DAN GAYA HIDUP

Proses Pengambilan Keputusan Oleh Konsumen